Sabtu, 23 November 2019

ANTIHISTAMIN

 ANTIHISTAMIN (KIMIA MEDISINAL)

PENGANTAR HISTAMIN

HISTAMIN
  
        Histamin memiliki peranan yang penting dalam patofisiologi penyakit alergi. Histamin adalah amina dasar yang dibentuk dari histidin oleh histidine dekarboksilase. Histamin ditemukan pada semua jaringan, tetapi memiliki konsentrasi yang tinggi pada jaringan yang berkontak dengan dunia luar, seperti paru-paru, kulit dan saluran pencernaan (Sari dan Satya, 2018).
Adapun struktur kimia Histamin sebagai berikut :


Berkas:Histamin - Histamine.svg

                                                   Gambar 1 : struktur kimia histamin


MEKANISME TERJADINYA ALERGI OLEH PELEPASAN HISTAMIN
         Terjadinya alergi bermula dari mekanisme pencernaan akergi, yaitu melalui interaksi abnormal antara alergen (zat penyebab alergi) dan sistem imun. Interaksi ini menyebabkan terbentknya IgE (Imunoglobulin E) yang dirangsang glikoprotein (berperan sebagai antigen atau alergen) dari makanan atau lainya. Kemudian IgE diikat oleh sel mastosit dan basofil dalam tubuh. Bila IgE yang sudah dilekati oleh sel mastosit dan basofil tersebut berinteraksi dengan antigen, maka sel mastosit tersebut akan melepaskan beberapa mediator (seperti histamin, prostaglandin, dan lekotrien). Pelepasan mediator ini mengakibatkan perubahan fisiologik lokal pada jaringan (hanya terjadi pada jaringan tertentu), seperti kenaikan tingkat sekresi asam lambung dan mucus, hingga pada reaksi inflamasi. Jaringan yang rusak atau mengalami perubahan fisiologik lokal tersebut kemudian memberi gejala-gejala alergi (Rini, 2015).


 ANTIHISTAMIN
         Antihistamin merupakan obat yang sering digunakan dalam bidang dematologi. Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histmain terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin, yaitu H1, H2, H3 dan H4 yang keempatnya memiliki fungsi dan distribusi yang berbeda. Blokade reseptor oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin misalnya kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi pembuluh darah. Histamin merupakan derivat amin dengan berat molekul rendah yang diproduksi dari L-histidine. (Sari dan Satya, 2018).
           Antihistamin H1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos, selain itu antihistamin H1 mimiliki manfaat untuk mengobati reaksi hipersensitifitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen yang berlebihan (Ganiswarna, 1995)
             Setelah dilepaskan, histamin memiliki efek lokal pada otot polos dan pada kelenjar, Antihistamin bekerja dengan cara kontraksi otot polos, seperti pada bronkus dan juga usus, tetapi merelaksasi pembuluh darah dan vasodilator. Histamin juga merupakan stimulasi kuat dari sekresi asam lambung. Bronkokontriksi dan krontraksi usus dimediasi oleh reseptor H1 sedangkan sekresi lambung berasal dari aktivasi reseptor H2 (Goodman dan Gilman, 2007).

Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistamin, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut resptor H2, maka secara farmakologis reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe, yaitu resptor H1 dan reseptor H2.


Antihistamin bekerja dengan memblokir histamin yang menyebabkan terjadinya alergi, pada saat antihistamin bekerja, tubuh akan menjadi lelah dan menyebabkan rasa kantuk yang sangat berat, hal inilah yang menyebabkan banyak orang yang menyalahgunakan antihistamin sebagai obat tidur pada penderita insomnia. Namun sebenarnya antihistamin ini tidak boleh digunakan pada penderita insomnia.


MEKANISME ANTIHISTAMIN
        Antihistamin digunakan untuk menghasilkan efek sedasi dan mengatasi alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh antihistamin. Peristiwa molekular ini akan mencegah sementara tibulnya reaksi alergi. Reseptor H1 diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel endotel, pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran cerna, saluran cerna, saluran genitourinarius dan jaringan vaskuler. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna dan dalam jantung. Sedangkan reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus (Sovia dan Euis, 2019).

PENGGOLONGAN ANTIHISTAMIN
Menurut struktur kimianya, antihistamin dapat dibagi menjadi beberapa kelompok :


Gambar 2 : Struktur antihistamin


CONTOH OBAT YANG BEKERJA PADA RESEPTOR ANTIHISTAMIN
a. Golongan Etanolamin (Difenhidramin)
       Ikatan histamin dengan reseptor H1, didapatkan dalam bentuk 3 dimensi, sehingga disimpulkan bahwa ikatan reseptor H1 dengan histamin/antihistamin merupakan ikatan spesifik stereo. Contoh obat yang bekerja pada reseptor antihistamin H1 yaitu difenhidramine, karbinoksamin, pyrilamin, hidroksizin, meklizin, klorfeniramin, bromfeniramin, cetirizin, loratadin, dan siproheptadin. Diphenhydramine merupakan obat yang umum digunakan oleh masyarakat sebagai obat antihistamin pilihan untuk reaksi alergi makanan akut yang diberikan segera setelah onset sekitar 15-60 menit. Difenhidramin adalah terapi yang paling efektif untuk demam dan alergi sehingga banyak diresepkan (Geiger dan Howard, 2007).


 Gambar 3 : Struktur Difenhidramin

          Difenhidramin adalah antihistamin golongan etanolamin. Antagonis H1 histamin digunakan sebagai antiemetik, antitusif, untuk dermatosis dan pruritus, untuk reaksi hipersensitivitas, antiparkinson, dan sebagai bahan dalam sediaan obat flu. Difenhidramin golongan etanolamin ini memiliki aktivitas antimuskarinik yang signifikan. Difenhidramin bukan mencegah pelepasan histamin, seperti halnya kromolin dan nedokromil, difenhidramin bersaing dengan histamin bebas untuk mengikat situs reseptor HA. difenhidramin secara kompetitif menentang efek histamin pada reseptor HA di saluran GI, rahim, pembuluh darah besar dan otot bronkial. Turunan etanolamin memiliki aktivitas kolinergik yang lebih besar dari pada antihistamin lainnya, yang mungkin menyebabkan efek antidiskinetik. Tindakan antikolinergik ini tampaknya disebabkan oleh efek antimuskarinik sentral, yang juga mungkin bertanggung jawab atas efek antiemetiknya, walaupun mekanisme pastinga tidak diketahui.

b. Golongan Etilendiamin (Antazolin)
           Antazolin adalah histamin generasi 1 dengan sifat antikolinergik yang digunakan untuk mengobati konjungtivitis alergi, antazolin dapat dikombinasikan dengan larutan tetryzoline. Obat ini adalah antagonis reseptor Histamin H1 mengikat secar selektif tetapi tidak mengaktifkan resptor, sehingga menghambat aksi histamin endogen dan kemudian mengarah pada pengurangan sementara gejala negatif yang ditimbulkan oleh histamin (Abelsone et al., 1980).

Antazoline.svg
Gambar 4 : Struktur kimia Antazolin

c. Golongan Propilamin (Klorfeniramin)
            Klorfeniramin biasanya dipasarkan dalam bentuk klorfeniramin maleat, adalah generasi pertama alkil amina antihistamin yang digunakan pada pencegahan gejala kondisi alergi seperti rhinitis dan urticaria. Senyawa ini mempunyai efek sedasi lemah jika dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama yang lainnya. Klorfeniramin mempunyai efek sebagi antidepresan atau penghilang rasa cemas (Montano dan Young., 1993).
Berkas:Chlorphenamine.svg
Gambar 5 : Struktur kimia Klorfeniramin

c. Golongan Piperazin (Sinarizin)
           Sinarizin adalah antihistamin, sinarizin juga dikenal untuk meningkatkan aliran darah otak, dan juga digunakan untuk mengobati penyakit pada otak, namun lebih sering diresepkan untuk mual dan muntah karena mabuk perjalanan (Singh, 1986).

Cinnarizine.svg
Gambar 6 : Struktur kimia Sinarizin



Daftar Pustaka
Abelsone M.B., M.R. Allansmith and M.H. Friendlaender. 1980. Effects of topically                applied ocular decongestant and antihistamine. Am Journal Ophthalmol. 90(2);              254-7.
Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi IV,  Universitas Indonesia,                        Jakarta.
Geiger L, Howard S. 2007. Acetaminophen and diphenhydramine premedication for                  allergic and febrile nonhemolytic transfusion reactions: Good Prophylaxis or                  Bad Practice Transfusion Med Rev; 21(2):1-12.
Gilman, A.G. 2007. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi X, EGC, Jakarta.
Montano, A.J.A dan J.M. Young. 1993. Characteristics of histamine H1 receptors on                Hela cells. Journal Pharmacol. 245 (3): 291-5.
Rini, A. 2015. Mencegah Alergi Makanan, Gramedia, Jakarta.
Sari, F dan S.W. Yenny. 2018. Antihistamin Terbaru Di Bidang Dematologi. Jurnal                   Kesehatan Andalas. 7(4).
Singh, B. N. 1986. The Mechanisme Of Action f Calcium Antagonists relative to their              clinical Apliplications. British Journal Of Clinical Pharmacology. 21(2): 109-               121. 
Sovia, E dan E. R. Yuslianti. 2019. Farmakologi Kedokteran Gigi Praktis. Deepublish,               Yogyakarta.


Permasalahan :
1. Bagaimana mekanisme atau cara kerja dari obat klorfeniramin dalam menangani            alergi.
2. Mengapa antihistamin tidak boleh digunakan untuk orang yang menderita insomnia.
3. Bagaimana efektivitas serta resiko pada saat antihistamin H1 dikombinasikan                dengan obat yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung (dekongestan oral),            seperti pseudoefedrin.








9 komentar:

  1. Hai Nada, informasi yang sangat menarik, baim disini saya akan mencoba menjawab topik permasalahan no 1, Klorfeniramine bekerja dengan cara menghambat kerja dari histamin, dimana histamin sendiri merupakan senyawa yang dapat memicu atau menyebabkan terjadinya alergi, saat terjadinya alergi tubuh akan memproduksi histamin secara berlebihan. klorfeniramine berguna untuk mengatasi tipe alergi yang bersifat eksudatif akut, seperti rhinitis alergi, urtikaria dan lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai kk Mila, jawaban yang bagus, tetapi akan saya tambahkan sedikit ya,,Klorfeniramin termasuk ke dalam obat generasi pertama. Obat-obat ini bekerja dengan memblokir reseptor-histamin (H1-reseptor blockers) sehingga dapat mencegah terjadinya efek bronchokonstriksinya serta histamin pun dapat dihambat. Klorfeniramin memiliki daya kerja anti-muscarinic sehingga barier darah dalam otak dapat ditembus.

      Hapus
  2. Hai nada, saya akan mencoba menjawab permasalahan nomor 3
    Kombinasi dari obat antihistamin H1 dengan obat yang bisa mengurangi gejala kongesti hidung (dekongestan oral), seperti pseudoefedrin dapat menyebabkan peningkatan efektivitasnya dalam memperbaiki gejala dari rhinitis alergik. Sedangkan resiko yang dapat ditimbulkannya yaitu adanya efek samping yang dapat membahayakan bagi pengguna obat ini khususnya pada penderita penyakit tertentu.
    Semoga membantu ☺️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haii monik, jawaban yang bagus, sedikit tambahan yaa,,dengan adanya kombinasi dari obat antihistamin dapat membuat efektivitas obat mejadi meningkat dan bekerja dengan sangat baik. Namun penggabungan ini juga memiliki efek samping terutama pada penderita penyakit jantung karena tekanan darahnya menjadi meningkat sehingga bisa menyebabkan kematian.

      Hapus
  3. Hallo nada.. Saya akan mencoba menjawab
    permasalahan no 2 : penggunaan antihistamin pada penderita insomnia dapat memberikan efek samping yaitu sadalah efek mengantuk yang berkepanjangan hingga esok harinya hal ini dapat menyebabkan penderita menjadi sulit untuk berkonsentrasi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari akibat mengantuk.

    BalasHapus
  4. permasalahan no 2 : penggunaan obat antihistamin pada penderita insomnia sangatlah tidak tepat karena dapat memperpuruk masalah kesehatan seperti pada penderita asma obat-obatan yang mengandung DPH dapat memperpuruk penyakit asma itu sendiri, selain itu obat (antihistamin) yang diminum secara rutin dapat membuat tubuh membuat toleransi pada obat atau dengan kata lain tubuh menjadi kebal dengan obatv tersebut, akibatnya untuk penggunaan selanjutnya harus digunakan dosis yang lebih tinggi dari dosis biasanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai asima,jawaban yang bagus,tetapi akan saya tambahkan sedikit,, Pada sebelumnya dokter banyak meresepkan antihistamin untuk penderita insomnia, namun saat sekarang ini sudah tidak lagi karena penggunaan antihistamin untuk penderita insomnia berkaitan dengan adanya toleransi yang cukup cepat terjadi dengan efek samping yang dapat membahayakan bagi pengkonsumsi, seperti terjadinya efek antikolinergik sampai menyebabkan kematian. Perhatian penting lainnya pada penggunaan difenhidramin adalah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan obat yang sering terjadi pada saat in.

      Hapus
  5. Jangan lupa makan dan jaga kesehatan ya nad.

    BalasHapus
  6. permasalahan nomor 3
    Kombinasi dari obat antihistamin H1 dengan obat yang bisa mengurangi gejala kongesti hidung (dekongestan oral), seperti pseudoefedrin dapat menyebabkan peningkatan efektivitasnya dalam memperbaiki gejala dari rhinitis alergik. Sedangkan resiko yang dapat ditimbulkannya yaitu adanya efek samping yang dapat membahayakan bagi pengguna obat ini khususnya pada penderita penyakit tertentu.
    Semoga membantu

    BalasHapus