Sabtu, 30 November 2019

HEMATOLOGI (KIMIA MEDISINAL)


HEMATOLOGI

A. Pengertian 
Hematologi merupakan suatu bidang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang darah serta gangguan yang dapat terjadi pada darah. Beberapa penyakit yang diatasi oleh bidang kedokteran hematologi termasuk anemia, gangguan pembekuan darah, penyakit infeksi, hemofilia dan leukemia (Handayani dan Andi, 2008).
Sistem hematologi merupakan suatu medium transport dari tubuh, volume darah menusia sekitar 7%-20% dari berat badan normal dan berjumlah sekitar 5 liter. Sistem hematologi tersusun atas darah serta tempat diproduksinya darah, termasuk sumsum tulang belakang dan nodus limpa. Darah merupakan organ khusus yang berbeda organ lain karena berbentuk cairan. Keadaan jumlah darah tidaklah sama pada setiap orang tergantung dari usia, pekerjaan, serta keadaan jantung ataupun pembuluh darah (Handayani dan Andi, 2008).

Menurut Handayani dan Andi (2008) Darah terdiri dari 2 komponen utama, yaitu :
1. Plasma darah : Bagian dari darah yang cair dan sebagian besar terdiri dari air,            elektrolik, serta protein darah.
2. Butir-butir darah (blood corpuscles) yang terdiri dari komponen-kompenen berikut ini :
  • Eritrosit    : sel darah merah
  • Leukosit   : sel darah putih
  • Trombosit : butir pembeku darah-platelet
    Pada saat terjadi luka darah keluar dari dalam tubuh dan membuat platelet mengeluarkan enzim trombokinase (tromboplastin). trombokinase bertindak ke atas enzim yang tidak aktif protorombin untuk membentuk enzim aktif trombin. mekanisme ini memerlukan Kalsium dan Vitamin K. Selanjutnya Trombin akan mengeluarkan fibrinogen dan merubahnya menjadi benang-benang fibrin yang kemudian akan menutup luka. Untuk mencegah terjadinya proses pembekuan darah maka diperlukannya obat antikoagulan yang biasa disebut dengan pengencer darah.
 Menurut Sovia dan Euis (2012), Ada beberapa contoh obat antikoagulan yaitu sebagai berikut :
1. Heparin 
    Mekanisme kerjanya yaitu dengan menghambat aktivasi faktor pembekuan darah (IIa, IXa, XIa, XIIa, XIIIa). Absorpsi pero oral nya buruk sehingga hanya diberikan secara parenteral
Heparin.svg  
        Gambar 1 : Struktur Kimia Heparin 

2. Warfarin
      Menghambat karboksilasi dari beberapa residu glutamat yang berperan dalam interkonversi vitamin K dalam hati sehingga menurunkan faktor-faktor pembekuan yang memerlukan vitamin K sebagai kofaktor yaitu faktor VII, IX, dan X dan antikoagulan endogen protein C dan S.

Gambar 2 : Struktur Kimia Warfarin

Dalam hematologi kita dapat mengetahui penyakit yang menyerang tubuh kita hal ini ditandai dengan adanya gangguan pada darah. Selain itu kita juga dapat mengetahui efek samping (toksisitas obat) dalam darah. dan berbagai gangguan lainnya yang disebabkan oleh kekurangan nutrisi. Untuk itu maka diperlukannya terapi yang bisa menjadi alternatif dalam proses penyembuhan. 

Menurut Handayani dan Andi (2008), Gangguan pada darah dapat mempengaruhi fungsi dari ketiga komponen utama darah yaitu :
a. Eritrosit (sel darah merah)
   Gangguan yang sering terjadi pada sel darah merah yaitu anemia. Anemia merupakan suatu kondisi di mana kadar atau jumlah sel darah merah rendah di dalam tubuh.
b. Leukosit (sel darah putih)
   Gangguan yang sering memeprngaruhi leukosit yaitu adanya infeksi virus dan bakteri yang menyerang sistem imun atau leukosit, dan yang lebih parah lagi yaitu leukimia atau kanker darah.
c. Trombosit 
   Trombosit berfungsi dalam membantu proses pembekuan darah. Jika kadar trombositnya tinggi maka disebut dengan trombositosis sedangkan jika kadar trombositnya rendah maka di namakan dengan trombositopenia.

B. Penyakit pada gangguan Sistem Hematologi
Gangguan hematologi dapat berupa ketidaknormalan pada sel darah perifer seperti anemia dan trombositopenia. Gangguan hematologi dapat mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pasien Leukemia Limfositit Akut (LLA) adalah keganasan sel yang terjadi akibat proliferasi sel limfoid yang diblokir pada tahap awal deferensiasinya. Gangguan hematologi dapat terjadi karena terganggunya proses hematopoietik dari sel induk darah, yang dapat disebabkan oleh leukemia itu sendiri dan/atau kemoterapi yang digunakan. Pada LLA, gangguan hematologi dapat terjadi akibat dari infiltrasi sel leukemik ke sumsum tulang akibat LLA dan/atau kemoterapi (Pertiwi et al., 2013). 
Gangguan hematologi pada pasien leukemia dapat disebabkan oleh penyakitnya. Pada pasien dengan LLA, proses infiltrasi di sumsum tulang mengakibatkan sumsum tulang dipenuhi oleh sel leukemik sehingga terjadi penurunan jumlah megakariosit yang berakibat menurunnya produksi trombosit dan eritrosit. proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis berada di bawah kontrol genetik, dan leukemia dapat terjadi ketika keseimbangan antara proses tersebut berubah. Hal umum yang dapat terjadi dari ketidakseimbangan proses tersebut adalah kegagalan sumsum tulang yang disebabkan akumulasi sel leukemik. Terjadinya kegagalan sumsum tulang mengakibatkan antara lain anemia (dengan gejala klinis misalnya: pucat, letargi, dan dispnea) dan trombositopenia (genjala klinis yang dapat terjadi antara lain: memar spontan, purpura, gusi berdarah) (Pertiwi et al., 2013).

C. Terapi pada Hematologi Pada Leukimia
Beberapa neoplasma dapat dikontrol dengan baik oleh hormon seks, seperti hormon androgen, progestin dan estrogen, serta hormon adrenokortikosteroid. Biasanya untuk pengobatan tambahan sesudah pembedahan, dikombinasi dengan obat antikanker lainya. Dalam dunia klinik digunakan untuk pengobatan dari penyebaran neoplasma, hormon androgen untuk kersinoma payudara, estrogen untuk karsinoma payudara dan prostat, dan adrenokortikoid untuk leukemia akut, terutama pada anak-anak (Siswando, 2016).

Menurut Siswando (2016), ada beberapa contoh hormon dan antihormon yang digunakan sebagai antikanker yaitu :
1. Hormon androgen : testosteron propionat, 2α-metiltestosteron, testolakton, dromostanolon, propionat, dan fluoksimesteron.
2. Hormon estrogen : dietilbestrol, klortriasin dan etinilestradiol.
3. Hormon progestin : hidrosiprogesteron kaproat, medroksiprogesteron asetat dan megestrol asetat.
4. Glukokortikoid : prednison, kortison dan deksametason.
5. Antiestrogen : tamoksifen sitrat.
6. Antiandrogen : flutamid dan bikalutamid.
7. Anti aromatase : Anastrozol dan letrozol.

D. Aktivitas Obat dengan Struktur 
      Contoh obat dari antiandrogen, yaitu sebagai berikut :
    1. Flutamid 
Flutamid merupakan antiandrogen yang kuat, dan dapat menghambat pengikatan androgen di dalam jaringan sasaran. Flutamid digunakan terutama untuk mengontrol kanker prostat yang lebih lanjut (Siswando, 2016).

Flutamide.svg
Gambar 3 : Struktur Kimia Flutamid

2. Bikalutamid 
Bikalutamid merupakan antiandrogen bukan steroid, pengikatan yang terjadi antara reseptor androgen berlangsung tanpa adanya aktivasi ekspresi gen, sehingga dapat menghambat rangsangan androgen. Senyawa ini mempunyai satu atom C asimetris sehingga merupakan campuran rasemat (Siswando, 2016).

Niepodpisana grafika związku chemicznego; prawdopodobnie struktura chemiczna bądź trójwymiarowy model cząsteczki
Gambar 4 : Struktur Kimia Bikalutamid

Contoh obat dari anti aromatase :
1. Letrozol 
              Mekanisme kerja dan kegunaan sama dengan anastrozol yang dapat menurunkan kdar estrogen 75-90%, dengan suspensi maksimum dicapai setelah 2 sampai 3 hari pemberian. Waktu paruh eliminasinya 2 hari, dosis oral 2,5 mg 1 dd (Siswando, 2016).
Letrozole.svg
Gambar 5 : Struktur Kimia Letrozol

2. Anastrozol
                      Adalah senyawa bukan steroid penghambat aromatase. Aromatase adalah kompleks enzim sitokrom P450 yang mengkatalisis pengubahan androstenedion menjadi estron dan testosteron menjadi estradiol. Hambatan enzim aromatase secara spesifik akan memblok biosintesis estrogen sehingga terjadi penurunan kadar estrogen (Siswando, 2016).
Struktur von Anastrozol
Gambar 6 : Struktur Kimia Anastrozol


DAFTAR PUSTAKA
Handayani, W dan A. S. Haribowo. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Hematologi, Salemba Medika, Jakarta.
Pertiwi. N. M. I., R. Niruri dan K. Ariawati. 2013. Gangguan Hematologi Akibat Terapi Pada Anak Dengan Leukemia Limfositik Akut Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Jurnal Farmasi Udayana. 1(1).
Siswando, S. 2016. Kimia Medisinal 2 Edisi 2, Airlangga University Press, Surabaya
Sovia, E dan E. R. Yuslianti. 2012. Farmakologi Kedokteran Gigi Praktis, Deepublish, Yogyakarta.

Permasalahan :
1. Bagaimana hubungan antara aktivitas obat antikanker dengan struktur 
2. Bagaimana mekanisme kerja dari obat antikanker  berdasarkan golongan obat
3. Bagaimana efek samping dari pengobatan kanker dengan kemoterapi 



        

        

ANALGETIKA (Kimia Medisinal)

ANALGETIKA
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang miltidimensional. Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas (ringan, sedang, berat) (Bahrudin, 2017).
Menurut Bahrudin (2017) Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multiple yaitu nosisepsis, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, ekstabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
  • Transduksi merupakan suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan stimulus (misalkan tertusuk jarum) ke impuls saraf nosiseptik.
  • Transmisi adalah suatu proses di mana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak
  • Modulasi merupakan suatu proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural signal).
  • Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. persepsi merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, modulasi, dan transmisi.
Terjadinya nyeri yang dialami oleh tubuh tentunya sangat mempengaruhi kondisi fisologis tubuh dari manusia, maka untuk itu diperlukan terapi yang dapat menyembuhkan rasa nyeri di dalam tubuh yaitu dengan menggunakan obat analgetika yang memiliki fungsi untuk menghentikan rasa nyeri, radang serta antirematik.

A. Pengertian Analgetika
Analgetik merupakan suatu senyawa yang mampu menekan fungsi dari sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa menghiangkan kesadaran. Analgetik bekerja dengan meningkatkan niali ambang persepsi rasa sakit.
Berdasarkan mekanisme kerja pada tingkat molekul, obat analgetik dibagi menjadi dua golongan utama yaitu analgetik narkotik dan analgrtik non narkotik (Sovia dan Euis, 2012).

B. Analgetik narkotik
         Analgetik tipe ini merupakan suatu senyawa yang mempu menekan fungsi dari sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengirangi terjadinya rasa sakit yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi dan kolik usus atau ginjal. Analgetik golongan ini sering kali digunakan untuk pramedikasi anestesi, bersama-sama dengan atropin, untuk mengontrol sekresi. Aktivitas analgetik tipe ini jauh lebih besar dibandingkan dengan analgetik golongan non narkotik, sehingga disebut juga dengan analgetik kuat (Ganiswarna, 1995).
1. Mekanisme Kerja Analgetik Narkotik
     Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor opioid spesifik pada sel dalam otak dan spinal cord. Rangsangan resptor juga menimbulkan efek euforia dan rasa ngantuk. Ada 4 macam reaeptor opioid yaitu reseptor µ, ð, dan NOP ( Nociception/Orphanin FQ reseptor) yang semuanya termasuk dalam kelompok GPCR (G Protein-Coupled Receptor) (Siswandono, 2016).
Menurut Siswandono (2016) Adapun contoh obat dari golongan ini yaitu :
a. Turunan Morfin

     Selain efek analgetik turunan morfin juga menimbulkan euforia sehingga banyak disalahgunakan. Oleh karena itu distribusi morfin harus dikontrol secara ketat. Karena turunan morfin menimbulkan efek kecanduan yang terjadi secara cepat, maka dicari turunan atau analognya yang masih mempunyai efek euforia tetapi efek kecanduannya lebih rendah.
Berkas:Morphin - Morphine.svg
Gambar 1 : Struktur Kimia Morfin

Menurut Siswandono (2016), Untuk dapat menimbulkan aktivitas analgesik narkotik, senyawa harus mempunyai gugus farmakofor sebagai berikut :
  • Cincin aromatik
  • Cincin piperidin
  • Atom N tersier yang bermuatan negatif
  • Atom C kuartener (atom C yang tidak mengikat aton H)
b. Turunan Metadon

Turunan metadon memiliki sifat optis aktif dan biasanya digunakan dalam benuk garam HCl. Walaupun tidak memiliki cincin piperidin, turunan metadon dapat membentuk "cincin" seperti piperidin bila dalam larutan atau cairan tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya daya tarik-menarik iondipol antara basa N dengan gugus karboksil dan karena terbentuknya ikatan hidrogen intramolekul.
Gambar 2 : Struktur Kimia Metadon

c. Turunan Morfinan

Untuk mengembangkan turunan morfin dilakukan penyederhanaan struktur dengan menghilangkan jembatan eter dan ikatan rangkap C 7-8, dan didapatkan turunan yang mempunyai aktivitas lebih besar dibandingkan morfin seperti levorfanol. Hal ini disebabkan karena struktur dari turunan morfinan lebih lentur dan dapat mengikat semua reseptor narkotik analgesik lebih kuat dibanding morfin. Contohnya seperti levorfanol.
Structural formula of morphinan
Gambar 3 : Struktur Kimia Morfinan

d. Tramadol

Tramadol analgesik kuat memiliki aktivitas 0,1-0,2 kali morfin. Tramadol dapat menghambat reuptake dari norephinefrin, serotonin serta meningkatkan pelepasan serotonin yang dapat mengubah persepsi dan respon nyeri dengan cara mengikat reseptor opiat µ. Walaupun efeknya melalui opiat, tetapi efek depresi dari pernapasan dan kemungkinan terjadinya resiko kecanduan realtif lebih kecil.

Gambar 4 : Struktur Kimia Tramadol


C. Analgetik non Narkotik
Analgetik non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan sampai moderat, sehingga sering disebut analgetika ringan, juga untuk menurunkan suhu badan pada keadaan panas badan yang tiinggi dan sebagai antiradang untuk pengobatan rematik. Analgetik non narkotik bekerja pada perifer dan sentral sistem saraf pusat. Mekanisme kerja non narkotik menimbulkan efek analgesik dengan cara menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalisis biosintesis prostaglandin, seperti sikloogsigenase, sehingga mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit, sepeti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion-ion hidrogen dan kalium yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi.
1. Analgetil-Antipiretik
Obat golongan ini digunakan untuk pengobatan simptomatik, yaitu hanya meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan atau menghilangkan penyebb penyakit. Berdasarkan struktur kimia obat analgetik-antipiretik dibagi menjadi dua kelompok yaitu turunan anilin dan para-aminofenol, serta turunan 5-pirazolon.
a. Turunan anilin dan para-aminofenol
Turunan anilin dan p-aminofenol, seperti asetaminofen, aser\tanilid dan fenasetin, mempunyai aktivitas analgesik-antipiretik sebanding dengan aspirin, tetapi tidak mempunyai efek antiradang dan antirematik.
Hubungan struktur anilin dan p-aminofenol-aktivitas
- Anilin mempunyai efek antipiretik yang cukup tinggi tetapi toksisitasnya juga besar karena menimbulkan methemoglobin.
- Substitusi pada gugus amino mengurangi sifat kebasaan dan dapat menurunkan aktivitas toksisitasnya.
- para-aminofenol adalah produk metabolik dari anilin, toksisitasnya lebih rendah dibandingkan anilin dan turunan orto dan meta, tetapi masih terlalu toksik untuk mengurangi toksisitasnya.
- Asetilasi gugus amino dari para-aminofenol (asetaminofen) akan menurunkan toksisitas , pada dosis relatif aman tetapi pada dosis yang lebih besar dan pada pemakain jangka panjang dapat menyebabkan methemoglobin dan kerusakan hati
- Esterifikasi gugus hidroksi dari para-aminofenol dengan gugus metil (anisidin) dan etil (fenetidin) akan meningkatkan aktivitas analgesik.

Adapun contoh obatnya yaitu parasetamol.
Gambar 5 : Struktur Parasetamol

b. Turunan 5-pirazolon

Turunan 5-pirazolon seperti antipirin, amidopirin, dan metampiron mempunyai aktivitas analgesik-antipiretik serta antirematik yang mirip dengan aspirin. Turunan ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada keadaan nyeri dada, kepala, spasma usus, ginjal, saluran empedu dan urin, neuralgia, migrain, dan lainnya.
Gambar 5 ; Struktur Kimia 5-pirazolon


2. Obat Analgesik Antiradang bukan Steroid
Obat antiradang bukan steroid (non steroidal anti inflamatory Drugs = NSAID) merupakan obat yang memiliki efek dapat mengurangi peradangan pada jaringan (antiradang), menurunkan demam (ntipiretik) dan dapat menghambat dari agregasi platelet (antiplatelet).
a. Turunan Asam Salisilat

Asam salisilat mempunyai aktivitas analgesik-antipiretik dan antirematik, sebagai analgesik-antipiretik adalah senyawa turunannya. Turunan Asam salisilat digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada nyeri kepala, sakit otot dan sakit yang berhubungan dengan rematik.
Salicylic-acid-skeletal.svg
Gambar 6 : Struktur Kimia Asam Salisilat

b. Turunan 5-pirazolidindion
Turunan 5-pirazolidindion, seperti fenilbutazon dan oksifenbutazon merupakan antiradang non steroid yang banyak digunakan untuk meringankan rasa nyeri yang berhubungan dengan rematik, penyakit pirai dan sakit persendian..
Gambar 7 : Struktur Kimia 5-Pirazolidindion

c. Turunan Asam N-arilantranilat

Asam antranilat merupakan analog nitrogen dari asam salisilat. Turunan asam N-arilantranilat terutama digunakan untuk sebagai antiradang untuk pengobatan rematik, dan sebagau analgesik untuk mengurangi rasa nyeri yang ringan dan noderat.
Gambar 8 : Struktur Kimia Asam N-arilantranilat

DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, M. 2017. Patifisiologi Nyeri (Pain). e-Journal muhammadiah. 13(1).
Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi IV,  Universitas Indonesia,                          Jakarta.
Siswandono, S. Kimia Medisinal 2 Edisi 2, Airlangga University Press, Surabaya.
Sovia, E dan E. R. Yuslianti. 2012. Farmakologi Kedokteran Gigi Praktis. Deepublish, Yogyakarta.


Permasalahan :
1. Bagaimana hubungan antara struktur dengan aktivitas turunan morfin analgetik
2. Bagaimana efek dari pemberian obat analgetik golongan narkotik terhadap sistem pernafasan
3. Bagaimana prinsip mekanisme NSAID sebagai antiradang, analgesik dan antipiretik
4. Bagaimana cara untuk meningkatkan aktivitas analgesik-antipiretik dan menurunkan efek samping turunan asam salisilat



Sabtu, 23 November 2019

ANTIHISTAMIN

 ANTIHISTAMIN (KIMIA MEDISINAL)

PENGANTAR HISTAMIN

HISTAMIN
  
        Histamin memiliki peranan yang penting dalam patofisiologi penyakit alergi. Histamin adalah amina dasar yang dibentuk dari histidin oleh histidine dekarboksilase. Histamin ditemukan pada semua jaringan, tetapi memiliki konsentrasi yang tinggi pada jaringan yang berkontak dengan dunia luar, seperti paru-paru, kulit dan saluran pencernaan (Sari dan Satya, 2018).
Adapun struktur kimia Histamin sebagai berikut :


Berkas:Histamin - Histamine.svg

                                                   Gambar 1 : struktur kimia histamin


MEKANISME TERJADINYA ALERGI OLEH PELEPASAN HISTAMIN
         Terjadinya alergi bermula dari mekanisme pencernaan akergi, yaitu melalui interaksi abnormal antara alergen (zat penyebab alergi) dan sistem imun. Interaksi ini menyebabkan terbentknya IgE (Imunoglobulin E) yang dirangsang glikoprotein (berperan sebagai antigen atau alergen) dari makanan atau lainya. Kemudian IgE diikat oleh sel mastosit dan basofil dalam tubuh. Bila IgE yang sudah dilekati oleh sel mastosit dan basofil tersebut berinteraksi dengan antigen, maka sel mastosit tersebut akan melepaskan beberapa mediator (seperti histamin, prostaglandin, dan lekotrien). Pelepasan mediator ini mengakibatkan perubahan fisiologik lokal pada jaringan (hanya terjadi pada jaringan tertentu), seperti kenaikan tingkat sekresi asam lambung dan mucus, hingga pada reaksi inflamasi. Jaringan yang rusak atau mengalami perubahan fisiologik lokal tersebut kemudian memberi gejala-gejala alergi (Rini, 2015).


 ANTIHISTAMIN
         Antihistamin merupakan obat yang sering digunakan dalam bidang dematologi. Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histmain terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin, yaitu H1, H2, H3 dan H4 yang keempatnya memiliki fungsi dan distribusi yang berbeda. Blokade reseptor oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin misalnya kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi pembuluh darah. Histamin merupakan derivat amin dengan berat molekul rendah yang diproduksi dari L-histidine. (Sari dan Satya, 2018).
           Antihistamin H1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos, selain itu antihistamin H1 mimiliki manfaat untuk mengobati reaksi hipersensitifitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen yang berlebihan (Ganiswarna, 1995)
             Setelah dilepaskan, histamin memiliki efek lokal pada otot polos dan pada kelenjar, Antihistamin bekerja dengan cara kontraksi otot polos, seperti pada bronkus dan juga usus, tetapi merelaksasi pembuluh darah dan vasodilator. Histamin juga merupakan stimulasi kuat dari sekresi asam lambung. Bronkokontriksi dan krontraksi usus dimediasi oleh reseptor H1 sedangkan sekresi lambung berasal dari aktivasi reseptor H2 (Goodman dan Gilman, 2007).

Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistamin, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut resptor H2, maka secara farmakologis reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe, yaitu resptor H1 dan reseptor H2.


Antihistamin bekerja dengan memblokir histamin yang menyebabkan terjadinya alergi, pada saat antihistamin bekerja, tubuh akan menjadi lelah dan menyebabkan rasa kantuk yang sangat berat, hal inilah yang menyebabkan banyak orang yang menyalahgunakan antihistamin sebagai obat tidur pada penderita insomnia. Namun sebenarnya antihistamin ini tidak boleh digunakan pada penderita insomnia.


MEKANISME ANTIHISTAMIN
        Antihistamin digunakan untuk menghasilkan efek sedasi dan mengatasi alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh antihistamin. Peristiwa molekular ini akan mencegah sementara tibulnya reaksi alergi. Reseptor H1 diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel endotel, pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran cerna, saluran cerna, saluran genitourinarius dan jaringan vaskuler. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna dan dalam jantung. Sedangkan reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus (Sovia dan Euis, 2019).

PENGGOLONGAN ANTIHISTAMIN
Menurut struktur kimianya, antihistamin dapat dibagi menjadi beberapa kelompok :


Gambar 2 : Struktur antihistamin


CONTOH OBAT YANG BEKERJA PADA RESEPTOR ANTIHISTAMIN
a. Golongan Etanolamin (Difenhidramin)
       Ikatan histamin dengan reseptor H1, didapatkan dalam bentuk 3 dimensi, sehingga disimpulkan bahwa ikatan reseptor H1 dengan histamin/antihistamin merupakan ikatan spesifik stereo. Contoh obat yang bekerja pada reseptor antihistamin H1 yaitu difenhidramine, karbinoksamin, pyrilamin, hidroksizin, meklizin, klorfeniramin, bromfeniramin, cetirizin, loratadin, dan siproheptadin. Diphenhydramine merupakan obat yang umum digunakan oleh masyarakat sebagai obat antihistamin pilihan untuk reaksi alergi makanan akut yang diberikan segera setelah onset sekitar 15-60 menit. Difenhidramin adalah terapi yang paling efektif untuk demam dan alergi sehingga banyak diresepkan (Geiger dan Howard, 2007).


 Gambar 3 : Struktur Difenhidramin

          Difenhidramin adalah antihistamin golongan etanolamin. Antagonis H1 histamin digunakan sebagai antiemetik, antitusif, untuk dermatosis dan pruritus, untuk reaksi hipersensitivitas, antiparkinson, dan sebagai bahan dalam sediaan obat flu. Difenhidramin golongan etanolamin ini memiliki aktivitas antimuskarinik yang signifikan. Difenhidramin bukan mencegah pelepasan histamin, seperti halnya kromolin dan nedokromil, difenhidramin bersaing dengan histamin bebas untuk mengikat situs reseptor HA. difenhidramin secara kompetitif menentang efek histamin pada reseptor HA di saluran GI, rahim, pembuluh darah besar dan otot bronkial. Turunan etanolamin memiliki aktivitas kolinergik yang lebih besar dari pada antihistamin lainnya, yang mungkin menyebabkan efek antidiskinetik. Tindakan antikolinergik ini tampaknya disebabkan oleh efek antimuskarinik sentral, yang juga mungkin bertanggung jawab atas efek antiemetiknya, walaupun mekanisme pastinga tidak diketahui.

b. Golongan Etilendiamin (Antazolin)
           Antazolin adalah histamin generasi 1 dengan sifat antikolinergik yang digunakan untuk mengobati konjungtivitis alergi, antazolin dapat dikombinasikan dengan larutan tetryzoline. Obat ini adalah antagonis reseptor Histamin H1 mengikat secar selektif tetapi tidak mengaktifkan resptor, sehingga menghambat aksi histamin endogen dan kemudian mengarah pada pengurangan sementara gejala negatif yang ditimbulkan oleh histamin (Abelsone et al., 1980).

Antazoline.svg
Gambar 4 : Struktur kimia Antazolin

c. Golongan Propilamin (Klorfeniramin)
            Klorfeniramin biasanya dipasarkan dalam bentuk klorfeniramin maleat, adalah generasi pertama alkil amina antihistamin yang digunakan pada pencegahan gejala kondisi alergi seperti rhinitis dan urticaria. Senyawa ini mempunyai efek sedasi lemah jika dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama yang lainnya. Klorfeniramin mempunyai efek sebagi antidepresan atau penghilang rasa cemas (Montano dan Young., 1993).
Berkas:Chlorphenamine.svg
Gambar 5 : Struktur kimia Klorfeniramin

c. Golongan Piperazin (Sinarizin)
           Sinarizin adalah antihistamin, sinarizin juga dikenal untuk meningkatkan aliran darah otak, dan juga digunakan untuk mengobati penyakit pada otak, namun lebih sering diresepkan untuk mual dan muntah karena mabuk perjalanan (Singh, 1986).

Cinnarizine.svg
Gambar 6 : Struktur kimia Sinarizin



Daftar Pustaka
Abelsone M.B., M.R. Allansmith and M.H. Friendlaender. 1980. Effects of topically                applied ocular decongestant and antihistamine. Am Journal Ophthalmol. 90(2);              254-7.
Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi IV,  Universitas Indonesia,                        Jakarta.
Geiger L, Howard S. 2007. Acetaminophen and diphenhydramine premedication for                  allergic and febrile nonhemolytic transfusion reactions: Good Prophylaxis or                  Bad Practice Transfusion Med Rev; 21(2):1-12.
Gilman, A.G. 2007. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi X, EGC, Jakarta.
Montano, A.J.A dan J.M. Young. 1993. Characteristics of histamine H1 receptors on                Hela cells. Journal Pharmacol. 245 (3): 291-5.
Rini, A. 2015. Mencegah Alergi Makanan, Gramedia, Jakarta.
Sari, F dan S.W. Yenny. 2018. Antihistamin Terbaru Di Bidang Dematologi. Jurnal                   Kesehatan Andalas. 7(4).
Singh, B. N. 1986. The Mechanisme Of Action f Calcium Antagonists relative to their              clinical Apliplications. British Journal Of Clinical Pharmacology. 21(2): 109-               121. 
Sovia, E dan E. R. Yuslianti. 2019. Farmakologi Kedokteran Gigi Praktis. Deepublish,               Yogyakarta.


Permasalahan :
1. Bagaimana mekanisme atau cara kerja dari obat klorfeniramin dalam menangani            alergi.
2. Mengapa antihistamin tidak boleh digunakan untuk orang yang menderita insomnia.
3. Bagaimana efektivitas serta resiko pada saat antihistamin H1 dikombinasikan                dengan obat yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung (dekongestan oral),            seperti pseudoefedrin.